Selasa, 08 Januari 2013

Resensi Novel Canting


Ø  Judul Buku                  : Canting
Ø  Penulis                         : Arswendo Atmowiloto
Ø  Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Ø  Tebal                           : 408
Ø  ISBN                           : 978-979-22-3249-3

Tema  : Mengenalkan Canting (alat membatik) kebudayaan Indonesia

Yang ingin disampaikan : Raden Ngabei Sastrokumo merupakan seorang pengusaha batik tulis yang terkenal terutama di kota Solo. Kota Solo memang merupakan kota yang terkenal dengan batiknya. Raden Ngabei Sestrokusumo adalah seorang keturunan keraton, kaya serta dihormati dan disegani oleh semua orang. Dia jatuh cinta pada salah satu buruh pabriknya yang bernama Tuginem. Karena status ekonomi dan sosial yang berbeda, hubungan Raden Ngabei dan Tuginem tidak direstui keluarga besar Raden Ngabei Sestrokusumo. Dia sangat mencintai Tuginem. Meskipun tanpa persetujuan keluarga, kehidupan rumah tangga Raden Ngabei dan Tuginem sangat harmonis, rukun, bahagian dan dikaruniai enam anak. Karena dilahirkan di keluarga pengusaha batik dan pengalaman Tuginem yang didapatnya saat ia masih menjadi buruh di perusahaan batik, akhirnya mereka membuka usaha sendiri batik tulis yang diberi nama “Canting” setelah menikah dengan Raden Ngabei, Tuginem dipanggil dengan nama ibu Bei.
Usaha canting yang didirikan ternyata mengalami kemajuan yang pesat, hasil karya batik tulisnya banyak digemari dan di kagumi oleh masyarakat kota Solo bahkan luar kota Solo. Ibu Bei dibantu oleh beberapa karyawan yang dapat dipercaya. Oleh Raden Ngabei dan Tuginem batik canting yang diproduksi dari perusahaan mereka dipasarkan di pasar Klewer dan dengan anak buahnya sendiri Bu Bei mengelola atau menekuni langsung usaha mereka. Walaupun Bu Bei adalah seorang wanita karier, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Di rumah Bu Bei melayani suaminya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Membuatkan kopi, menyiapkan air hangat untuk mandi, menyiapkan makanan, setiap hari itulah tugas Bu Bei dalam melayani suaminya setiap hari. Keenam anaknya juga tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Dengan usahanya itu Bu Bei dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Anak yang sulung Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri Kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi Insinyur, Wening Dewamurti menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu Subandini Dewa Putri menjadi Sarjana Farmasi. Teknologi semakin lama makin modern dan banyaknya persaingan dari pengusaha lain.Kesuksesan batik canting lama kelamaan merosot.

Selain itu kekuatan Ibu Bei dalam mengurus batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama semakin berkurang karena termakan usia. Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan batik yang begitu sulit dan hasil yang sangat kurang dan juga tidak ada satupun dari anak-anaknya yang mau meneruskan usaha batik tersebut, dengan terpaksa Bu Bei menutup usaha batik cantingnya. Tetapi anak bungsu mereka Subandini Dewa Putri merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan kembali usaha keluarganya namun terjadi perselisihan diantara mereka namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan oleh Raden Ngabei. Tidak lama kemudian Bu Bei meninggal.

Nilai-nilai kebudayan yang dapat diambil pelajaran.  Dengan membaca novel ini secara tidak langsung kita dapat mengetahui suatu kebudayan adat Jawa. Dari perilaku etika bersosialisasi, berkomunikasi bahkan kita dapat melihat tingkatan-tingkatan sosial atau strata sosial pada masyarakat Jawa. Novel ini juga menjelaskan tentang tinjauan femenisme yaitu usaha pemahaman perempuan atau wanita seperti tercermin dalam karya sastra. Dalam novel ini menceritakan status sosial wanita dalam masyarakat dan keluarga, pada dasarnya di novel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu masih menjunjung nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan deskriminasi terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah atau pekerja buruh.

Novel canting ini awalnya menceritkan wanita bukanlah siapa-siapa yang tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Namun dengan adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena dengan adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan berkarir. Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang ramai dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan, menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih payah itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani anak-anaknya dan suaminya. “Walaupun Bu Bei telah menjadi seorang wanita karir ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan anak-anaknya dengan baik”. Hingga akgirnya dengan adanya novel ini petan wanita sangatlah penting dalam kehidupan berkeluarga.

Novel ini juga menceritakan kultur budaya Jawa. Pada masa kejayaannya, batik tulis, tak hanya menampilkan sebuah barang berbentuk kain bercorak semata. Proses didalamnya, bagaimana Canting, carat tembaga untuk membatik, yang ditiup dengan napas dan perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah masterpiece, karya terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa.
 
Pokok  - pokok isi buku  :
1.       Pak Bei, adalah generasi pertama keluarga Ngabean yang mendobrak tradisi dengan menikahi anak buruh. Karenanya, dia disebut sebagai aeng-aneh, berbuat yang tidak Jawa. Digambarkan memiliki sifat sak karepe dewe-seenaknya sendiri, malas, hidup bergantung dari penghasilan sang istri, tetapi juga bersifat bijak, tegas, berwibawa, berwawasan luas dan sangat mengagumi sang istri.
2.      Bu Bei, cepat beradaptasi dari seorang anak buruh batik menjadi seorang istri yang bekti-patuh pada suami, sekaligus pengusaha dan penjual batik yang trengginas, yang mampu mengatasi hal-hal sekecil apapun baik itu menyangkut buruh-buruhnya, pembelinya di pasar, maupun adik dan kakak suami yang sering menggerogotinya.
Adalah para buruh, yang merupakan inti dari cerita novel ini sendiri. Banyak sisi kemanusiaan yang paling mendasar, bisa diambil dari cerita para buruh ini. Bagaimana mereka hidup, bersyukur dan mengabdi, tergambar jelas disini. Makanya, ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian yang pokok dari mengutarakan rasa bersyukur. Kepasrahan-penyerahan secara ikhlas-adalah sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah. Potret kehidupan wong cilik, yang nerimo-pasrah, ikhlas dan tak pernah neko-neko. Sangat biasa. Sangat sederhana.

Bagian akhir menceritakan bagaimana Batik jenis printing-cetak perlahan mengikis pasar batik tulis yang mahal. Modernisasi menuntut hasil yang efektif, tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga kerja, hampir membuat Ni menyerah. Saat kesadarannya pulih, Ni mencari jalan keluar kegelisahannya dengan membangkitkan sosok buruh batik dalam dirinya. Ni merasa, mereka inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang bisa mendongak menatap matahari, dengan mata menunduk. Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang tetap hormat, dengan menenggelamkan diri memutuskan melepas cap Canting dan menyerahkan kepada perusahaan besar. Mereka membeli, dan menjualnya dengan cap milik mereka. Dengan jalan seperti inilah, para buruh itu tetap hidup, tetap bekerja demikian pula dengan usaha batiknya. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit,. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri.

Keunggulan novel  : Pada novel ini sangat bagus karena memperkenalkan tentang budya Indonesia . kepada para pembaca nya.

Kelemehan novel : Bahasa nya terlalu rumit untuk dimengerti, terlalu banyak bahasa jawa.  Jadi, untuk orang yang membaca bukan dari kalangan jawa sulit untuk mengerti maksud dari novel tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar