Ø Judul
Buku : Canting
Ø Penulis : Arswendo Atmowiloto
Ø Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Utama
Ø Tebal : 408
Ø ISBN : 978-979-22-3249-3
Tema : Mengenalkan Canting (alat membatik)
kebudayaan Indonesia
Yang
ingin disampaikan : Raden
Ngabei Sastrokumo merupakan seorang pengusaha batik tulis yang terkenal
terutama di kota Solo. Kota Solo memang merupakan kota yang terkenal dengan
batiknya. Raden Ngabei Sestrokusumo adalah seorang keturunan keraton, kaya
serta dihormati dan disegani oleh semua orang. Dia jatuh cinta pada salah satu
buruh pabriknya yang bernama Tuginem. Karena status ekonomi dan sosial yang
berbeda, hubungan Raden Ngabei dan Tuginem tidak direstui keluarga besar Raden
Ngabei Sestrokusumo. Dia sangat mencintai Tuginem. Meskipun tanpa persetujuan
keluarga, kehidupan rumah tangga Raden Ngabei dan Tuginem sangat harmonis,
rukun, bahagian dan dikaruniai enam anak. Karena dilahirkan di keluarga
pengusaha batik dan pengalaman Tuginem yang didapatnya saat ia masih menjadi buruh
di perusahaan batik, akhirnya mereka membuka usaha sendiri batik tulis yang
diberi nama “Canting” setelah menikah dengan Raden Ngabei, Tuginem dipanggil
dengan nama ibu Bei.
Usaha canting yang didirikan ternyata mengalami kemajuan
yang pesat, hasil karya batik tulisnya banyak digemari dan di kagumi oleh
masyarakat kota Solo bahkan luar kota Solo. Ibu Bei dibantu oleh beberapa
karyawan yang dapat dipercaya. Oleh Raden Ngabei dan Tuginem batik canting yang
diproduksi dari perusahaan mereka dipasarkan di pasar Klewer dan dengan anak
buahnya sendiri Bu Bei mengelola atau menekuni langsung usaha mereka. Walaupun
Bu Bei adalah seorang wanita karier, ia tidak melupakan kewajibannya sebagai
ibu rumah tangga. Di rumah Bu Bei melayani suaminya dengan penuh cinta dan
kasih sayang. Membuatkan kopi, menyiapkan air hangat untuk mandi, menyiapkan
makanan, setiap hari itulah tugas Bu Bei dalam melayani suaminya setiap hari.
Keenam anaknya juga tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Dengan usahanya itu
Bu Bei dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Anak yang sulung Wahyu
Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri Kolonel, Bayu Dewasunu
menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi Insinyur, Wening Dewamurti
menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu
Subandini Dewa Putri menjadi Sarjana Farmasi. Teknologi semakin lama makin
modern dan banyaknya persaingan dari pengusaha lain.Kesuksesan batik canting
lama kelamaan merosot.
Selain itu kekuatan Ibu Bei dalam mengurus batiknya dan
mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama semakin berkurang karena
termakan usia. Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari
perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan batik yang begitu sulit dan hasil
yang sangat kurang dan juga tidak ada satupun dari anak-anaknya yang mau
meneruskan usaha batik tersebut, dengan terpaksa Bu Bei menutup usaha batik
cantingnya. Tetapi anak bungsu mereka Subandini Dewa Putri merasa tergugah
hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha
keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan kembali usaha
keluarganya namun terjadi perselisihan diantara mereka namun perselisihan
tersebut dapat diselesaikan oleh Raden Ngabei. Tidak lama kemudian Bu Bei
meninggal.
Nilai-nilai kebudayan yang dapat diambil pelajaran.
Dengan membaca novel ini secara tidak langsung kita dapat mengetahui
suatu kebudayan adat Jawa. Dari perilaku etika bersosialisasi, berkomunikasi
bahkan kita dapat melihat tingkatan-tingkatan sosial atau strata sosial pada
masyarakat Jawa. Novel ini juga menjelaskan tentang tinjauan femenisme yaitu
usaha pemahaman perempuan atau wanita seperti tercermin dalam karya sastra.
Dalam novel ini menceritakan status sosial wanita dalam masyarakat dan
keluarga, pada dasarnya di novel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu
masih menjunjung nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan
deskriminasi terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah atau pekerja buruh.
Novel canting ini awalnya menceritkan wanita bukanlah
siapa-siapa yang tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya.
Namun dengan adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena
dengan adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan
berkarir. Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang
ramai dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan,
menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih
payah itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak
melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani
anak-anaknya dan suaminya. “Walaupun Bu Bei telah menjadi seorang wanita karir
ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap
melayani suami dan anak-anaknya dengan baik”. Hingga akgirnya dengan adanya
novel ini petan wanita sangatlah penting dalam kehidupan berkeluarga.
Novel ini juga menceritakan kultur budaya Jawa. Pada masa kejayaannya, batik tulis, tak hanya
menampilkan sebuah barang berbentuk kain bercorak semata. Proses didalamnya,
bagaimana Canting, carat tembaga untuk membatik, yang ditiup dengan napas dan
perasaan oleh para buruh batik, menjadikannya sebuah masterpiece, karya
terbesar, warisan budaya yang adiluhung dari Tanah Jawa.
Pokok - pokok isi buku
:
1. Pak Bei, adalah generasi pertama keluarga
Ngabean yang mendobrak tradisi dengan menikahi anak buruh. Karenanya, dia
disebut sebagai aeng-aneh, berbuat yang tidak Jawa. Digambarkan memiliki
sifat sak karepe dewe-seenaknya sendiri, malas, hidup bergantung dari
penghasilan sang istri, tetapi juga bersifat bijak, tegas, berwibawa,
berwawasan luas dan sangat mengagumi sang istri.
2. Bu Bei, cepat beradaptasi dari
seorang anak buruh batik menjadi seorang istri yang bekti-patuh pada
suami, sekaligus pengusaha dan penjual batik yang trengginas, yang mampu
mengatasi hal-hal sekecil apapun baik itu menyangkut buruh-buruhnya, pembelinya
di pasar, maupun adik dan kakak suami yang sering menggerogotinya.
Adalah para buruh, yang merupakan inti dari cerita novel ini
sendiri. Banyak sisi kemanusiaan yang paling mendasar, bisa diambil dari cerita
para buruh ini. Bagaimana mereka hidup, bersyukur dan mengabdi, tergambar jelas
disini. Makanya, ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian yang pokok
dari mengutarakan rasa bersyukur. Kepasrahan-penyerahan secara ikhlas-adalah
sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah. Potret kehidupan wong
cilik, yang nerimo-pasrah, ikhlas dan tak pernah neko-neko. Sangat
biasa. Sangat sederhana.
Bagian akhir menceritakan bagaimana Batik jenis printing-cetak
perlahan mengikis pasar batik tulis yang mahal. Modernisasi menuntut hasil yang
efektif, tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga kerja, hampir membuat Ni
menyerah. Saat kesadarannya pulih, Ni mencari jalan keluar kegelisahannya
dengan membangkitkan sosok buruh batik dalam dirinya. Ni merasa, mereka
inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang bisa mendongak menatap
matahari, dengan mata menunduk. Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang
tetap hormat, dengan menenggelamkan diri memutuskan melepas cap Canting dan
menyerahkan kepada perusahaan besar. Mereka membeli, dan menjualnya dengan cap
milik mereka. Dengan jalan seperti inilah, para buruh itu tetap hidup, tetap
bekerja demikian pula dengan usaha batiknya. Cara bertahan dan bisa melejit
bukan dengan menjerit,. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan
memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri.
Keunggulan
novel : Pada novel ini sangat bagus
karena memperkenalkan tentang budya Indonesia . kepada para pembaca nya.
Kelemehan
novel : Bahasa nya terlalu rumit untuk dimengerti, terlalu banyak bahasa
jawa. Jadi, untuk orang yang membaca
bukan dari kalangan jawa sulit untuk mengerti maksud dari novel tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar